Secara pribadi, saya akan bilang ujian negara sebaiknya di sesuaikan dengan kemampuan standar pendidikan masing-masing daerah. Hal ini terjadi karena pemerintah di nilai masih kurang berhasil memeratakan pendidikan di seluruh Indonesia sampai ke pelosok-pelosok daerah sehingga terjadi kasus yang memalukan akhir-akhir ini. Seperti yang di beritakan di media cetak ataupun media elektronik bahwa pasukan anti teror Detasemen88 Polri menyerbu sebuah ruangan di sebuah sekolah karena mendapat informasi bahwa adanya tim sukses(guru-guru) memperbaiki jawaban-jawaban siswa yang khusus untuk mata kuliah Inggris. Kepala Polri menuduh bahwa para tim sukses itu mencuri dan juga merusak dokumen rahasia milik negara sebagai alasan untuk membenarkan penyerbuan oleh Detasemen88 anti teror.
Hal ini di karenakan apa? Sudah tentu karena standar pendidikan di Jakarta dengan daerah terjadi kesenjangan. Bukan karena siswa/i yang tidak belajar maupun malas tapi kemungkinan terjadi karena ketidaksesuaian kurikulum. Akibat daripada itu kebanyakan dari mereka tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang di ajukan dalam Ujian Negara. Sejauh dari informasi yang di peroleh setelah gagal dari UN kebanyakan siswa/i tidak lagi mengulang kembali kelas 12(setara dengan SMA 3). Entah itu karena terhimpit masalah keuangan ataupun pertimbangan lainnya. Sebaiknya mengajukan Ujian Daerah(tingkat propinsi saja sudah cukup) yang di sesuaikan dengan kemampuan standar sekolah terbaik dari daerah tersebut sebagai patokannya.
Satu lagi menjadi tanda tanya adalah STTB(Surat Tanda Tamat Belajar) yang menandakan bahwa seorang siswa/i telah menyelesaikan sekolah kelas 12. Kata Belajar itu menurut beberapa orang bahwa mengandung makna konotasi. Coba kita renungkan kata Tamat Belajar? Hmm… hal ini mengakibatkan orang-orang berpikir bahwa begitu kelas 12 selesai berarti mereka sudah selesai belajar jika di lihat dari kepanjangannya. Padahal kita tahu bahwa dalam hidup seseorang rasanya tidak mungkin tidak belajar dalam hal beberapa arti. Belajar untuk sukses, belajar untuk bertahan hidup, belajar untuk mencintai dan lain-lain.
Banyak juga dari mereka yang sukses juga mengatakan bahwa mereka juga banyak yang hanya tamatan kelas 9/SMA 3. Tetapi yang pasti prosentase pengganguran kebanyakan datang dari mereka yang tidak pernah tamat sekolah. Dengan berturut-turut dari yang prosentase paling tinggi hingga paling rendah yaitu: SD, SMP, SMA lalu sarjana.